Sampai saat ini belum dapat diuangkapkan secara pasti asal usul kapan berdirinya desa Lalanglinggah. Hal ini disebabkan karena kurangnya data yang berupa prasasti, babad atau maupun petunjuk lainnya.
Hanya ada informasi yang disimpulkan dari ceritra dan penuturan dari orang-orang tua bahwa desa Lalanglinggah sudah cukup tua dan sudah ada sejak zaman Kerajaan Bali dulu. Sedangkankan timbulnya nama desa Lalanglinggah dapat didongengkan sebagai berikut :
Berdasarkan mitos dan informasi dari penglisir dan pengemong Pura Gading Wani dapat dikatakan tonggak sejarah dari Lalanglinggah. Desa yang bersumber dari adanya Pura Gading Wani, hingga kini desa Lalanglinggah belum memiliki sejarah desa yang tertulis. Menurut cerita / uraian zaman Belanda ( Adrechtbundels, 1934) disebutkan bahwa pada zaman kerajaan Bali desa / banjar adalah kedudukan desa Gading Wani sebagai satu desa di bawah kekuasaan seorang Perbekel yang ditugaskan oleh kerajaan Tabanan menjaga perbatasan dengan Jembrana. Adapun batas-batas wilayah itu masih banyak terlihat dalam bentuk- bentuk fisik di Tukad Balian dan Yeh Leh ditinjau oleh dari salah satu lintasan perjalanan yang dilakukan dari zaman dulu yang melalui pesisir, tampaknya lokasi geografis desa Gading Wani ( Lalanglinggah) yang terletak di pinggir pantai, memang mempunyai kaitan erat dengan perjalanan Dharma Yatra Danghyang Dwi Djendra di Bali.
Sehingga kejadian sejarah perjalanan Danghyang Dwi Djendra di Bali diyakini berkaitan erat dengan keberadaan Pura Gading Wani. Dalam mitos yang disampaikan secara turun- temurun dikatakan salah satu ganten ( kunyahan sirih) Danghyang Dwi Djendra tumbuh sbuah pohon besar yang diberi nama pohon kunyit, yang sampai saat ini pohon kunyit itu masih hidup tegak dan merindangi Pura Gading Wani, disebelah barat pura terbentang sungai besar yaitu tukad balian yang artinya tukad yang mampu menyembuhkan wabah penyakit. Konon Danghyang Dwi Djendra menancapkan tongkat beliau dibagian hulu dan kemudian menyeruh orang desa yang kegeringan mebersih di hilirnya, dan seketika itu orang- orang desa sembuh. Dikaitkan dengan kesucian tukad balian ternyata setelah diamati sungai atau tukad balian tersebut mempunyai 11 (sebelas) anak sungai. Secara mitos sungai seperti ini sangat baik untuk menyembukan dan penyucian diri. Dan terbukti banyak umat yang melakukan pengelukatan diri ditukad balian yang dianggap suci ini.
Diyakini pula oleh pengemong Pura bahwa tibu gading wani dihuni oleh “buaya gading“ serta dalam wawengkon pura terdapat “macan gading” sehingga sampai saat ini nama tukad atau sungai tersebut diwarisi bernama tukad balian. Dan dari tersebut diatas jelaslah bahwa Pura Gading Wani dengan perjalanan tirta yatra dari Empu Danghayng Dwi Djendra di Bali. Namun demikian dapat diperkirakan dari pura ini setelah Danghyang Dwi Djendra melewati Desa Gading wani yaitu pada abad ke 15.
Sekitar abad ke 16 nama Desa Gading Wani, tumbuh rumput alang- alang ( ilalang) yang sangat luas, dan pada zaman tersebut oleh keputusan Raja Tabanan yang dapat perintah untuk masuk ke Desa Gading Wani / Desa Lalanglinggah yang dihuni oleh beberapa penduduk yang merupakan yang masih diliputi oleh hutan belantara yang sangat lebat. Maka, sekitar abad ke 19 oleh Raja Tabanan memberikan kepada masyarakat Tabanan berurbanisasi kewilayah tersebut, kemudian datanglah warga desa Kerambitan, Selemadeg, Bajera, Lumbung dan lain- lain, untuk mencari lahan di Desa tersebut dengan diberikan tanah garapan 3 hektar per kepala keluarga terpencar menuju : Lalanglinggah, Suraberata, Selabih, Bangkyang Jaran, Beja dan Bukit Tumpeng.
Kemudian terbentuklah satu Desa yang diberi nama Desa Lalanglinggah dipinpim oleh seorang Bendesa yang bernama Ajin Tantra Dusun Selabih periode 1917 – 1935 yang meliputi wilayah Banjar Lalanglinggah, Suraberata, Kutuh/Medui, Desaanyar, Yeh Bakung, Mekayu, Bangkyang Jaran, Bukit Tumpeng, Beja dan Selabih.
Dilanjutkan olen Bendesa yang bernama Pan Garba dari Banjar Yeh Bakung periode 1935 – 1944. Pan Loji Br. Lalanglinggah peride 1944 – 1949 dan digantikan oleh I Wayan Jegog dari Br. Lalanglinggah periode 1949 – 1959, dan oleh Pemerintah Banjar-Banjar di Desa Lalanglinggah di difinitifkan menjadi 12 Kelian Banjar Dinas yaitu :
- Kelian Br. Dinas Lalanglinggah
- Kelian Br. Dinas Suraberata
- Kelian Br. Dinas Desaanyar
- Kelian Br. Dinas Daren
- Kelian Br. Dinas Mekayu
- Kelian Br. Dinas Beja
- Kelian Br. Dinas Yeh Bakung
- Kelian Br. Dinas Bangkyang Jaran
- Kelian Br. Dinas Bukit Tumpeng
- Kelian Br. Dinas Selabih Wanasari
- Kelian Br. Dinas Selabih Tengah
- Kelian Br. Dinas Selabih Pangkung Kuning
Kemudian pemerintah desa dilanjutkan oleh I Ketut Guleh dari Br. Selabih Tengah periode 1973-1979. Digantikan oleh I Nyoman Suma dari Br. Selabih Pangkung Kuning periode 1979-1981.
Dilajutkan oleh I Made Kayanthara dan pada waktu pemerintahan beliau nama Banjar/ Dinas dirubah menjadi Dusun/Banjar. Kemudian dilanjutkan oleh Kepala Desa yang bernama I Made Gina dari Dusun Lalanglinggah periode 1987- 1998. Dilanjutkan oleh I Ketut Latera periode 1998- 2007 dalam masa pemerintahan beliau telah terjadi pemekaran Br. Dinas Suraberata menjadi tiga Br. Dinas meliputi Br. Dinas Suraberata, Br. Dinas Pengasahan dan Br. Dinas Banjar Kutuh pada Tahun 2000.
Pada Tahun 2007 telah terjadi pemekaran Desa yaitu Desa Lalanglinggah dan Desa Selabih dan periode Tahun 2007 – 2013 ini dijabat oleh seorang Perbekel yang bernama I Putu Suantara dari Br. Dinas Suraberata.
Kemudian dilanjutkan oleh I Nyoman Parwata Aryanto Priode tahun 2013 s/d tahun 2019, yang mewilayahi 11 Br. Dinas yaitu sebagai berikut :
- Kelian Br. Dinas Lalanglinggah
- Kelian Br. Dinas Pengasahan
- Kelian Br. Dinas Surabrata
- Kelian Br. Dinas Banjar Kutuh
- Kelian Br. Dinas Desaanyar
- Kelian Br. Dinas Daren
- Kelian Br. Dinas Mekayu
- Kelian Br. Dinas Beja
- Kelian Br. Dinas Yeh Bakung
- Kelian Br. Dinas Bangkyang Jaran
- Kelian Br. Dinas Bukit Tumpeng
Demikian sejarah singkat mengenai desa Lalanglinggah agar dapat dijadikan sebagai penguak dalam rangka mengisi kelengkapan sejarah Desa.